Langsung ke konten utama

PPh Final atas penghasilan WP yang memiliki peredaran bruto tertentu (PP 46 Tahun 2013)

DASAR HUKUM
  1. PP 46 TAHUN 2013 (Berlaku sejak 1 Juli 2013) tentang PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu
  2. PMK-107/PMK.011/2013 (berlaku sejak 6 Agustus 2013) tentang tata cara penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu
  3. PER-32/PJ/2013 (berlaku sejak 25 September 2013) tentang tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh bagi WP yang dikenai PPh berdasarkan PP 46 TAHUN 2013
  4. PER-37/PJ/2013 (berlaku sejak 30 Oktober 2013) tentang tata cara penyetoran PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu melalui anjungan tunal mandiri (ATM)

SURAT EDARAN TERKAIT
  1. SE-32/PJ/2014 tentang penegasan pelaksanaan PP 46 TAHUN 2013
  2. SE-38/PJ/2014 tentang ralat SE-32/PJ/2014 (SE ini hanya meralat ketentuan Huruf E angka 5 huruf b dari SE-32/PJ/2014)
  3. SE-42/PJ/2013 tentang pelaksanaan PP 46 TAHUN 2013

SURAT TERKAIT
S-1737/PJ.09/2013 tentang Fasilitas Pembayaran PPh Final 1% Melalui ATM


YANG DIKENAKAN PPH FINAL DAN KRITERIA WP YANG DIKENAKAN PPH FINAL
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai PPh yang bersifat final. (Pasal 2 ayat (1) PP 46 TAHUN 2013)

WP yang memiliki peredaran bruto tertentu ini adalah WP yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (Pasal 2 ayat (2) PP 46 TAHUN 2013)
  • WP OP atau WP badan tidak termasuk BUT; dan
  • menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
     penjelasan terkait Pasal 2 ayat (2) PP 46 TAHUN 2013 :
  • Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari: (Pasal 3 ayat (2) PMK-107/PMK.011/2013)
    • jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
    • penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
    • usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
    • penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
▪ Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi:
  1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
  3. olahragawan;
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. agen iklan;
  7. pengawas atau pengelola proyek;
  8. perantara;
  9. petugas penjaja barang dagangan;
  10. agen asuransi; dan
  11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
  • Tahun Pajak menurut ketentuan umum perpajakan adalah sama dengan tahun kalender. Namun demikian, bagi WP yang tahun bukunya tidak sama dengan tahun kalender, Tahun Pajak ditentukan berdasarkan tahun buku yang didalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih dari 6 (enam) bulan dari tahun buku tersebut.
Misalnya, Jika tahun buku Wajib Pajak dimulai pada tanggal 1 Juli 2013 dan berakhir pada tanggal 30 Juni 2014 maka tahun buku tersebut berarti Tahun Pajak 2013 karena memenuhi 6 (enam) bulan pertama dari tahun 2013.
Contoh penentuan peredaran bruto:
Rajesh merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat kegiatan usaha di beberapa pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan diketahui rincian peredaran usaha di tahun 2013 adalah sebagai berikut:
Pasar A sebesar Rp80.000.000,00; 
Pasar B sebesar Rp250.000.000,00;
Pasar C sebesar Rp400.000.000,00.
Dengan demikian peredaran bruto usaha perdagangan tekstil Rajesh sebagai dasar pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah sebesar Rp730.000.000,00 (Rp80.000.000,00 + Rp250.000.000,00 + Rp400.000.000,00).

Tidak termasuk WP OP yang atas penghasilannya dikenai PPh Final adalah WP OP yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya: (Pasal 2 ayat (3) PP 46 TAHUN 2013)
  1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
  2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
  • penjelasan terkait WP OP yang tidak termasuk WP yang atas penghasilannya dikenai PPh Final :
  • Wajib Pajak orang pribadi yang tergolong dalam ketentuan ini adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa melalui suatu tempat usaha yang dapat dibongkar pasang, termasuk yang menggunakan gerobak, dan menggunakan tempat untuk kepentingan umum yang menurut peraturan perundang-undangan bahwa tempat tersebut tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, misalnya pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan sejenisnya. Terhadap Wajib Pajak tersebut atas penghasilannya tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. (Penjelasan Pasal 2 ayat (3) PP 46 TAHUN 2013)
Tidak termasuk WP badan yang atas penghasilannya dikenai PPh Final adalah : (Pasal 2 ayat (4) PP 46 TAHUN 2013)
  • Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
    • Wajib Pajak ini dikenai PPh berdasarkan tarif umum UU PPh sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial. (Pasal 7 ayat (1) PMK-107/PMK.011/2013)
    • Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melewati Tahun Pajak yang bersangkutan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya. (Pasal 7 ayat (2) PMK-107/PMK.011/2013)
    • Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 TAHUN 2013 bagi WP badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali, ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial. (Butir E angka 2 huruf b SE-32/PJ/2014)
  • Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Penentuan saat beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam PP 46 TAHUN 2013 bagi Wajib Pajak badan adalah saat Wajib Pajak melakukan kegiatan operasi secara komersial untuk pertama kali bagi Wajib Pajak yang bergerak di sektor: (Butir E angka 2 huruf a SE-32/PJ/2014)
  • jasa, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan; dan/atau
  • dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.
Catatan :
  1. Ketentuan diatas tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan. (Pasal 5 PP 46 TAHUN 2013)
  2. Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud daIam Pasal 2 ayat (1) PP 46 TAHUN 2013 yang diterima atau diperoleh WP, dikenai PPh berdasarkan ketentuan UU PPh. (Pasal 6 PP 46 TAHUN 2013)


BESAR TARIF, CARA PENGENAAN PPH FINAL, DAN CARA PENYETORAN
  • Besarnya tarif PPh yang bersifat final adalah 1% (satu persen). (Pasal 3 ayat (1) PP 46 TAHUN 2013)
    • DPP yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. (Pasal 4 ayat (1) PP 46 TAHUN 2013)
    • PPh terutang = 1% (satu persen) X jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha. (Pasal 4 ayat (2) PMK-107/PMK.011/2013)
    • Pengenaan PPh didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. (Pasal 3 ayat (2) PP 46 TAHUN 2013)
  • Ketentuan Terkait Peredaran Bruto :
    • Dalam hal peredaran bruto kumulatif WP pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4,8 M dalam suatu Tahun Pajak, WP tetap dikenai tarif PPh final 1% (satu persen) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. (Pasal 3 ayat (3) PP 46 TAHUN 2013)
    • Dalam hal peredaran bruto WP telah melebihi jumlah Rp 4,8 M pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan UU PPh. (Pasal 3 ayat (4) PP 46 TAHUN 2013)
  • Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai PPh yang bersifat final, diatur sebagai berikut: (Pasal 10 PP 46 TAHUN 2013 dan Pasal 3 PMK-107/PMK.011/2013)
    • Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, pengenaan PPh final didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang disetahunkan. (Pasal 3 ayat (3) PMK-107/PMK.011/2013)
    • Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum PMK-107/PMK.011/2013 berlaku pengenaan PPh final didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya PMK-107/PMK.011/2013 yang disetahunkan. (Pasal 3 ayat (4) PMK-107/PMK.011/2013)
    • Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak PMK-107/PMK.011/2013, pengenaan PPh final didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan. (Pasal 3 ayat (5) PMK-107/PMK.011/2013)

CARA PENYETORAN DAN PELAPORAN
Penyetoran :
  • WP wajib menyetor PPh final ini ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan SSP atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP, yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (Pasal 10 ayat (1) PMK-107/PMK.011/2013)
  • Kode Akun Pajak 411128 (PPh Final) dan
  • Kode Jenis Setoran 420 (PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu) .
  • Bila melalui ATM, ketentuannya : PER-37/PJ/2013
    • Wajib Pajak dapat melakukan penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM pada Bank Persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. (bisa melalui ATM pada Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BCA (S-1737/PJ.09/2013))
    • Penyetoran ini dilakukan dengan memasukkan NPWP, Masa Pajak dan jumlah nominal Pajak Penghasilan yang akan dibayar.
    • Atas penyetoran ini, Wajib Pajak menerima BPN dalam bentuk cetakan struk ATM.
    • Dalam hal terdapat kendala pada mesin ATM sehingga BPN tidak dapat tercetak atau tercetak namun tidak dapat dibaca, Wajib Pajak dapat meminta cetak ulang BPN di kantor cabang Bank Persepsi terdekat.
    • Prosedur cetak ulang BPN disesuaikan dengan prosedur pada Bank Persepsi yang bersangkutan.
    • BPN termasuk cetakan ulang dan salinannya, merupakan sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    • Apabila terdapat perbedaan antara data pembayaran yang tertera dalam BPN dengan data pembayaran menurut MPN, maka yang dianggap sah adalah data pembayaran menurut MPN.
    • BPN setidak-tidaknya mencantumkan elernen-elemen sebagai berikut:
    • Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN);
    • Nomor Transaksi Bank (NTB);
    • Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
    • Nama Wajib Pajak;
    • Kode Akun Pajak;
    • Kode Jenis Setoran;
    • Masa Pajak;
    • Tahun Pajak;
    • Tanggal transaksi; dan
    • Jumlah nominal pembayaran.
    • Penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM ini diadministrasikan sebagai penerimaan Negara dengan :
    • Kode Akun Pajak 411128 (PPh Final) dan
    • Kode Jenis Setoran 420 (PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu) .
Pelaporan :
  • Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh final ini wajib menyampaikan SPT Masa PPh paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. (Pasal 10 ayat (2) PMK-107/PMK.011/2013)
  • Ketentuan mengenai pelaporan SPT Masa PPh ini diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014, sehingga atas keterlambatan pelaporan (sesuai tanggal validasi NTPN) masa Juli-Desember 2013 tidak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). (Butir E angka 2 huruf b SE-32/PJ/2014)
  • Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran PPh final ini, dianggap telah menyampaikan SPT Masa PPh, sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak. (Pasal 10 ayat (3) PMK-107/PMK.011/2013)
  • Wajib Pajak yang menyetor PPh yang bersifat final tetapi Surat Setoran Pajaknya tidak mendapat validasi dengan NTPN, wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ke KPP sesuai tempat kegiatan usaha Wajib Pajak terdaftar dengan mengisi baris pada angka 11 formulir SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2): (Butir F angka 4 SE-42/PJ/2013)
    • kolom Uraian diisi dengan "Penghasilan Usaha WP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu";
    • kolom KAP/KJS diisi dengan "411128/420".
  • Wajib Pajak dengan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib melaporkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2). (Butir E angka 8 SE-32/PJ/2014)

KETENTUAN TERKAIT PPH YANG DIPOTONG/DIPUNGUT PIHAK LAIN
  • Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak PP 46 TAHUN 2013 yang berdasarkan ketentuan UU PPh dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain. (Pasal 6 ayat (1) PMK-107/PMK.011/2013)
  • Pembebasan ini diberikan melalui Surat Keterangan Bebas (SKB).
  • Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, yang dipotong dan/atau dipungut oleh pihak lain diatur sebagai berikut: (Butir F angka 7 SE-42/PJ/2013)
    • atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh bendahara pemerintah dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan:
      • dapat diajukan permohonan pemindahbukuan ke setoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak melalui pemindahbukuan; atau
      • dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
      • Dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
    • atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dengan bukti pemotongan dan/atau pemungutan, termasuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor:
    • dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
    • dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.

KETENTUAN TERKAIT KOMPENSASI RUGI

Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut: (Pasal 8 PP 46 TAHUN 2013)
  1. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
  2. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1;
  3. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.

KETENTUAN TERKAIT ANGSURAN PPH PASAL 25

WP yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh yang bersifat final sesuai PP 46 TAHUN 2013, tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU PPh. (Pasal 9 ayat (1) PMK-107/PMK.011/2013)

Dalam hal WP selain menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh yang bersifat final sesuai PP 46 TAHUN 2013 juga menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan tarif umum UU PPh, atas penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan tarif umum tersebut wajib dibayar angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU PPh. (Pasal 9 ayat (2) PMK-107/PMK.011/2013)


PENEGASAN PERLAKUAN PPH BAGI WP DEGNAN JENIS USAHA TERTENTU : (Butir E SE-32/PJ/2014)

Perlakuan PPh bagi WP badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan.
  • Atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut bukan merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m Undang-Undang Pajak Penghasilan.
  • Dalam hal ketentuan persyaratan penanaman kembali sisa lebih sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak terpenuhi, maka atas sisa lebih tersebut merupakan objek pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
  • Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan mengacu pada ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak reksa dana.
  • Reksa dana adalah suatu bentuk kegiatan usaha yang melakukan penghimpunan dana dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi yang dapat berbentuk perseroan atau kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
  • Berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka aliran penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak reksa dana termasuk dalam kategori penghasilan yang berasal dari usaha sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Sehingga, dalam hal Wajib Pajak reksa dana memenuhi kriteria PP 46 TAHUN 2013, maka Wajib Pajak reksa dana dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sesuai PP 46 TAHUN 2013 beserta ketentuan pelaksanaannya.
Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman.
  • Bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 TAHUN 2013, atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
  • Peredaran bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman adalah jumlah seluruh penghasilan usaha jasa perbankan/peminjaman, antara lain:
    • pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait dengan pemberian kredit/pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman;
    • penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain, serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, kecuali bagi Wajib Pajak selain bank/bank perkreditan rakyat. (SE-38/PJ/2014)
  • Dalam hal Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman tidak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 TAHUN 2013, atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (Wajib Pajak OPPT).
  • Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT dan kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 TAHUN 2013, atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tersebut dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
  • Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT, maka pengenaan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak tersebut mengacu pada ketentuan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pembayaran angsuran pajaknya mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (7) Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat kegiatan usaha.
Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
  • Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, ditegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang berprofesi sebagai PPAT:
    • mempunyai persamaan kewenangan dengan Notaris, yaitu merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan membuat akta otentik tertentu yakni akta yang berkaitan dengan dengan pertanahan; dan
    • dapat dipersamakan dengan notaris sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas.
  • Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak PPAT mengacu pada ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Postingan populer dari blog ini

BIAYA FISKAL (PASAL 6 DAN 9 UU PPH)

DASAR HUKUM  Pasal 6 dan penjelasan UU Nomor 36 TAHUN 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 TAHUN 1983 tentang biaya yang dapat dkurangkan dari penghasilan bruto  Pasal 9 dan penjelasan UU Nomor 36 TAHUN 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 TAHUN 1983 tentang biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto  Pasal 3 PP 138 TAHUN 2000 dan Pasal 4 PP 138 TAHUN 2000 (berlaku sejak 1 Januari 2001 s/d 29 Desember 2010) tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam Tahun Berjalan  Pasal 10, Pasal 13 PP 94 Tahun 2010 (berlaku sejak 30 Desember 2010) tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam Tahun Berjalan    BIAYA YANG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN (Pasal 13 PP 94 TAHUN 2010)  Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentu...

PPh Final atas Dividen yang diterima Orang Pribadi (OP)

DASAR HUKUM Pasal 17 Ayat (2c) UU Nomor 36 TAHUN 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan PP 19 TAHUN 2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang PPh atas deviden yang diterima atau diperoleh oleh WP OP DN PMK-111/PMK.03/2010 (berlaku sejak 14 Juni 2010) tentang tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas dividen yang diterima atau diperoleh WP OP DN SURAT EDARAN TERKAIT SE-30/PJ/2012 tentang pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas penghasilan berupa dividen DEFENISI Dividen adalah dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. (Pasal 1 ayat (2) PMK-111/PMK.03/2010) KODE MAP DAN KJS Disetorkan dengan SSP. MAP: 411128 KJS: 419 Pelaporan dengan SPT Masa PPh Pasal 4 (2) TARIF Sejak 1 Januari 2009, penghasilan berupa dividen yang diterima atau di...

PPh Final atas Bunga simpanan Koperasi

DASAR HUKUM PP 15 TAHUN 2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang PPh atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi OP PMK-112/PMK.03/2010 (berlaku sejak 14 Juni 2010) tentang tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi OP YANG DIKENAKAN PPH PASAL 4 AYAT (2 ) Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. (Pasal 1 PP 15 TAHUN 2009) TARIF (Pasal 2 PP 15 TAHUN 2009) 0% untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp.240.000 per bulan; atau 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp. 240.000,00 per bulan. YANG WAJIB MELAKUKAN PEMOTONGAN PPH PASAL 4 AYAT (2) DAN SAAT PEMOTONGAN Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi, wajib memot...